02 Desember 2018

Published 20.15 by with 0 comment

January 2009

Stasiun Pasar Minggu kala pagi. Aku sudah disini. Seperti biasa merenung tanpa arah dan tujuan. Aku berusaha menghindari tatapan penasaran yang tertuju ke arah ku. Banyak pertanyaan di wajah mereka. Yah, aku tidak bisa menyalahkan mereka untuk itu. Aku terlalu mencolok. Dengan seragam sekolah pada pukul setengah sembilan pagi. Gadis kurang kerjaan. Ini hari selasa yang membosankan, pelajaran House Keeping seharian. Jangan salahkan aku dengan pelarian ini. Rasanya sangat layak dan aku meyakini bahwa tidak apa-apa sekali-sekali. Aku tidak menunggu siapa pun disini. Hanya memikirkan diriku sendiri. Aku suka disini. Desiran angin yang selalu dibawa kereta setiap kali datang. Sejuk, namun tidak membuyarkan lamunan.

Apa aku harus menceritakan tentangku?
Aku tidak yakin. Sebab aku sangatlah tidak menarik. Aku sebuah bayangan. Selalu terlihat gelap di mata orang-orang. Aku tidak cantik. Tidak cantik menurut standarku sendiri. Aku tidak ramah, tidak pedulian dan sangat tidak peka. Aku berbicara sesuka hatiku. Tidak menatap lawan bicaraku. Bukan karena mereka tidak menarik, aku merasa jika menatap mereka, mereka akan mengambil jiwa ku (masih membingungkan untuk mendeskripsikan nya). Dan aku sangat menyanyangi diri ku sendiri.

Well, aku baik-baik saja. Lebih dari baik-baik saja. Tradisi melamun disini diperkenalkan oleh seseorang yang dekat denganku. Aku tidak bisa menyebutnya pacar, karena kami tidak pacaran. Tidak bisa menyebutnya teman, karena aku sama sekali tidak peduli dengan hidupnya. Itu kan arti dari teman? Seorang pria yang terlalu baik untuk dijadikan keduanya. Setidaknya terlalu baik untuk kumiliki. 

Aku bertemu dengannya dalam perkenalan yang tidak kuminati. Dia tidak sepertiku. Umurnya pun 4 tahun diatas ku. Tidak memiliki hobi yang sama dengan ku, tidak pula memiliki sifat yang mirip dengan ku. Tapi dia pendiam. Lebih daripada ku. Pada dasarnya aku adalah orang yang menyimpan jalan fikiranku sendiri. Tidak membaginya dengan siapa pun. Tapi aku merasa dia akan mendengarkan dan mengingat segala hal remeh yang aku ceritakan. Dari mata nya dia menganggap semua hal tentang ku adalah hal yang paling menarik baginya. 

Jangan salah paham, aku merasakan hal sebaliknya padanya. Aku memanfaatkannya. Menjadikannya sebagai sebuah kebutuhan akan teman yang memang tidak aku miliki. Kedekatan kami berjalan selalu seperti ini. Dia adalah kebutuhan ku akan sikap yang hangat dan peduli. Sedangkan aku, hanya wanita jahat yang tidak bisa memperdulikannya lebih dari diriku sendiri.

Aku selalu merasa kami berbeda. Kami bukan teman. Kami bukan sepasang kekasih. Dia hanya kebutuhanku akan rasa yang tidak ku mengerti. Rasa hangat dan kepeduliaan. Aku tidak pernah memikirkannya dengan cara lain. Karena bagiku cinta adalah awal dari rasa sakit. Awal mula rasa sakit muncul adalah disaat kau memberikan hatimu kepada orang lain. Mengharapkan sesuatu lalu terluka berdarah-darah. Aku tidak akan seperti itu. Aku mengutuknya.

Aku tidak tahu isi kepalanya. Aku tidak terlalu perduli. Selama dia mendengarkan keluh kesahku, tidak ada yang harus kupedulikan tentang apa yang dia fikirkan. Apakah aku manusia? Aku sendiri masih meragukannya.

Sudahlah. Fikiranku mulai melantur kemana-mana. Untuk orang yang pendiam, fikiranku seramai pasar. Begitu semrawut dan berantakan. Aku memikirkan banyak hal sekaligus. Ada yang berguna. Kebanyakan tidak. Entah kenapa desiran angin seperti menerbangkan semua beban fikiran itu. Tidak membiarkan aku menyusunnya kembali. Aku menyukai rasanya. Rasa yang mengaburkan fikiran. Penyiraman bara panas, aku menyebutnya.

Aku melanjutkan lamunan ku.
Read More
      edit